BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Oleh karena psikolog sosial telah lama menyadari pentingnya pengaruh
sosial pada kehidupan kita sehari-sehari, maka topik ini pun juga telah lama
menjadi pusat perhatian di bidang ini. Bahasan ini akan membahasan memperluas
diskusi tentang berbagai aspek lain dari pengaruh sosial , pertama kita akan
fokus pada topik konformitas yaitu
bertingkah laku dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh
kelompok atau masyarakat kita. Tekanan untuk melakukan konformitas bisa jadi
sangat sulit untuk ditolak. Lalu akan membahas tentang kesepakatan yaitu
usaha-usaha untuk membuat orang lain berkata ya terhadap berbagai macam
permintaan. Dan terakhir, akan meneliti dua bentuk ekstrem dari pengaruh sosial
: pertama , kepatuhan satu orang ain atau lebih untuk melakukan apa yang ia
inginkan dan kedua, indoktrinasi intesif yaitu usaha-usaha yang dilakukan oleh
kelompok=kelompok ekstrem untuk merekrut anggota baru dan membuat mereka
menerima belief kelompok tanpa tanda tanya lagi (baron, R.S., 2000).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu pengaruh sosial ?
2. Bagaimana pengaruh sosial konformitas pada pengaruh kelompok di lapangan?
3. Apa Pengaruh sosial tentang kesepakatan ?
C.
Manfaat Dan Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah
a. Mengatahui definisi tentang pengaruh sosial !
b. Mengetahui bagaimana konformitas pada pengaruh kelompok di lapangan.!
c. Mengetahui pengaruh sosial tentang kesepakatan !
Dan Manfaatnya agar penulis lebih mendapat wawasan yang lebih dan makalah
ini berguna bagi mahasiswa lainnya .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh
social (social influence)
Pengaruh social (social influence) adalah usaha yang
dilakukan seseorang atau lebih untuk mengubah sikap, belief, persepsi atau
tingkah laku orang lain. Ada 3 aspek penting dalam pengaruh social, yaitu:
konformitas (conformity), kesepakatan (compliance), kepatuhan (obedience),
dan indoktrinasi insentif (intense indoctrination).
B.
Konformitas : Pengaruh Kelompok di Lapangan
Konformitas adalah
suatu jenis pengaruh social di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku
mereka agar sesuai dengan norma social yang ada. Seseorang bertingkah laku
dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh kelompok atau
masyarakat kita. Tekanan untuk melakukan konformitas berakar dari adanya
kenyataan bahwa di berbahai konteks ada aturan-aturan eksplisit maupun implicit
yang mengindikasikan bagaimana seharusnya atau sebaiknya kita bertingkah laku,
yang disebut Norma social (social
norms), dan aturan-aturan ini seringkali menimbulkan efek yang kuat
pada kita. Norma bisa saja dinyatakan secara eksplisit (tertulis), contohnya:
larangan parkir di Jalan tol, larangan merokok di tempat umum, perintah untuk
tidak menginjak rumput di taman. Selain itu ada pula norma yang tidak diucapkan
atau implicit, contohnya: ketika
Susi pergi kuliah dengan memakai tanktop, ada ketidaknyamanan dalam dirinya
dengan perilakunya tersebut atau mungkin ketidaknyamanan datang dari orang lain
yang melihat cara berpakaian Susi tersebut. Walaupun dalam peraturan kuliahnya
tidak ada peratutan yang mengharuskan memakai baju berlengan, namun norma-norma
implicit bekerja sehingga timbul ketidaknyamanan baik pada diri Susi maupun
orang lain yang berada di sekitarnya. Contoh lainnya dari norma implicit:
peraturan tidak tertulis seperti, “jangan berdiri terlalu dekat dengan orang
asing”, “perempuan jangan duduk ngangkang”, “jangan lupa member tip pada
pelayan”. Tanpa mempedulikan apakah norma social itu implicit atau eksplisit,
ada satu kenyataan yang jelas: sebagian besar orang mematuhi norma-norma
tersebut hamper setiap saat.
Selain itu norma juga
dibagi menjadi norma deskriptif dan norma injungtif. Norma deskriptif berupa saran atau himbauan untuk melakukan
sesuatu—norma yang mengindikasikam apa yang sebagian besar orang lakukan pada
situasi tertentu, Contoh norma deskriptif: himbauan kepala desa kepada warganya
untuk melakukan 3M demi mencegah demam berdarah; atau ketika di jalan tol ada
himbauan bagi kendaraan yang berjalan lambat untuk berjalan di bahu kiri dan
bagi kendaraan yang ingin mendahului dan melaju cepat untuk berjalan di lajur
kanan. Norma deskriptif belum tentu dipatuhi, seperti misalnya belum tentu
kendaraan di laju kanan semua melaju cepat, fakta dilapangan banyak kendaraan
yang melaju lambat-lambat di jalur kanan, tapi tidak dikenai sanksi. Norma injungtif adalah berupa perintah
atau larangan yang mengharuskan orang untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu—norma yang menentukan apa yang harus dilakukan—tingkah laku apa yang
diterima dan tidak diterima pada situasi tertentu.. Contoh: perintah membayar
pajak untuk para wajib pajak, bagi yang tidak mematuhi akan dikenai sanksi.
Terkadang kita tidak
menyetuji konformitas ini karena konformitas membatasi kebebasan pribadi.
Namun, ada dasar yang kuat berkenaan dengan konformitas: tanpa konformitas,
kita segera menyadari kita berhadapan dengan kekacauan social. Jadi, pada
berbagai situasi, konformitas memiliki fungsi yang sangat berguna.
Konformitas ada 2
jenis yaitu a) Konformitas public (public conformity) yaitu bila di
depan umum seseorang menampilkan perilaku yang sama tapi belum tentu orang
tersebut nyaman dengan perilakunya tersebut atau dengan kata lain ,melakukan
atau mengatakan apa yang orang lain di sekitar kita katakana atau lakukan,
Contoh: Rudi mentaati peraturan untuk tidak merokok di tempat umum, namun
karena Rudi adalah perokok berat, dia tidak nyaman dengan perilakunya itu
sehingga sedapat mungkin dia mencari tempat tersembunyi untuk merokok. Contoh
lainnya adalah: saat pemilu, banyak orang yang ikut arak-arakan kampanye partai
X karena banyaknya massa yang juga ikut kampanye partai X tersebut, padahal
belum tentu orang-orang tersebut berada di pihak partai X melainkan hanya
ikut-ikutan; b) penerimaan pribadi (private
acceptance) yaitu bila seseorang menampilkan perilaku sesuai dengan
penerimaan pribadinya sendiri yang membuatnya nyaman dengan perilaku tersebut
dan benar-benar merasakan atau berpiki seperti orang lain, Contoh: Susi tidak
merokok di tempat umum karena memang kesadaran dirinya sendiri untuk tidak
merokok, dan dia nyaman dengan perilakunya tersebut. Contoh lainnya adalah:
saat kampanye partai X, banyak massa yang ikut mendukung. Tapi saat pemilu,
ternyata mereka memilih pilihan yang berbeda sehingga partai X kalah. Di sini,
mereka mengikuti Private acceptance mereka untuk memilih partai yang memang
mereka dukung. Jadi, jangan mudah terkecoh dengan konformitas yang ditunjukkan
di depan public karena belum tentu konformitas tersebut sesuai dengan penerimaan
pribadi orang tersebut.
Konformitas tidak
terjadi pada derajat yang sama di semua situasi. Ada 3 faktor yang mempengaruhi
konformitas, yaitu:
- Kohesivitas (cohesiveness)—derajat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika kohesivitas tinggi (ketika kita suka/kagum terhadap suatu kelompok), tekanan untuk melakukan konformitas bertambah besar, dan juga sebaliknya. Contoh: dalam 1 genk yang terdiri dari sahabat-sahabat yang sangat akrab yang koompak, ketika yang satu melakukan rebonding rambut, yang lainnya juga mengikuti.
- Ukuran kelompok, semakin besar kelompok tersebut, semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta, bahkan meskipun itu berarti kita akan menerapkan tingkah laku yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.
- Teori focus normative (normative focus theory), yaitu teori yang mengajukan bahwa norma akan mempengaruhi tingkah laku hanya bila norma tersebut menjadi focus dari orang yang terlibat pada saat tingkah laku tersebut muncul. Dengan kata lain, orang akan mematuhi norma injungtif hanya jika mereka memikirkan tentang norma tersebut dan melihatnya terkait dengan tindakan mereka. Norma mempengaruhi tingkah laku hanya jika norma-norma tersebut penting bagi kita—ketika kita terfokus pada norma tersebut. Contoh: saya adalah mahasiswa di Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Norma-norma yang berhubungan dengan ekologi menjadi focus saya dibanding norma lainnya. Contohnya, saya menjadi lebih terfokus pada norma membuang sampah pada tempatnya.
Mengapa seseorang melakukan
konformitas? Berikut adalah penyebab seseorang melakukan konformitas:
- Keinginan untuk disukai dan rasa takut pada penolakan. Salah satu alasan penting mengapa kita melakukan konformitas adalah: kita belajar bahwa dengan melakukannya bisa membantu kita mendapatkan persetujuan dan penerimaan yang kita dambakan. Sumber konformitas ini dikenal dengan pengaruh social normative (normative social influence), karena pengaruh social ini meliputi perubahan tingkah laku kita untuk memenuhi harapan orang lain. Untuk disukai dan diterima dalam suatu kelompok, kita cenderung melakukan konformitas agar sesuai dengan kelompok tersebut. Selain itu, apapun yang dapat meningkatkan rasa takut kita akan memperoleh penolakan oleh kelompok tersebut juga akan meningkatkan konformitas.
- Keinginan untuk merasa benar: pengaruh social informasional. Kita menggunakan opini dan tindakan mereka sebagai panduan opini dan tindakan kita. Tindakan dan opini orang lain menegaskan kenyataan social bagi kita, dan kita menggunakan semuanya itu sebagai pedoman bagi tindakan dan opini kita sendiri. Dasar ini disebut pengaruh social informasional (informational social influence), karena hal tersebut didasarkan pada kecenderungan kita untuk bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang berbagai aspek dunia social. Contoh: kita mengikuti trend rambut rebonding untuk keinginan merasa bahwa model rambut ini lah yang benar, yang memang sedang tren saat ini.
- 3. Membenarkan konformitas: konsekuensi kognitif dari mengikuti kelompok. Beberapa orang yang melakukan konformitas melakukannya dengan sepenuh hati, mereka menganggap bahwa mereka salah dan orang lain benar dan dengan melakukan konformitas hanya akan menimbulkan dilemma sementara. Namun banyak juga yang beranggapan penilaian mereka benar naming mereka tidak mau menjadi berbeda sehingga mereka berperilaku tidak konsisten dengan belief pribadi mereka. Sehingga untuk mengubah persepsi mereka pada situasi tersebut, mereka membenarkan konformitas.
Terkadang kita memilik
untuk tidak ikut serta atau menolak konformitas. Beberapa factor penting yang
membuat seseorang menolak konformitas:
- Keinginan individuasi, yaitu kebutuhan untuk mempertahankan individualitas kita. Kita ingin menjadi seperti orang lain—tetapi tampaknya, tidak sampai pada titik di mana kita kehilangan identitas pribadi kita. Sebagian besar dari kita memiliki keinginan akan individuasi (individuation)—agar dapat dibedakan dari orang lain dalam beberapa hal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konformitas memang lebih banyak terjadi di Negara yang memiliki budaya kolektivis. Contoh: saat sedang tren rebonding, Susi justru mengikalkan rambutnya karena ia ingin beda dari yang lain.
- Keinginan mempertahankan control terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya. Semakin kuat kebutuhan individu akan control pribadi, semakin sedikit kecenderungan mereka untuk menuruti tekanan social.
- Orang-orang yang tidak dapat melakukan konformitas. Ada beberapa orang yang memang tidak dapat melakukan konformitas karena alasan fisik, hokum atau psikologis. Cotoh: orang yang homoseksual tidak bisa melakukan konformitas untuk mencintai orang lawan jenisnya; orang-orang cacat fisik yang tidak dapat melakukan aktifitas seperti orang kebanyakan.
Terkadang minoritas
tidak selalu menjadi yang terpengaruh oleh mayoritas, tetapi bisa juga terjadi
hal yang sebaliknya yaitu minoritas berhasil mempengaruhi mayoritas pada
kondisi tertentu: i) angggota kelompok
minoritas harus konsistendan harus bertahan pada opininya sendiri dalam
menentang opini mayoritas; ii) anggota kelompok minoritas harus menghindari
tampilan yang kaku dan dogmatis (harus fleksibel); iii) keseluruhan konteks
social di mana kaum minoritas beroperasi adalah penting. Jika minoritas
bertahan, pada akhirnya mereka bisa saja menang dan menemukan bahwa pandangan
mereka kini menjadi mayoritas. Berdasarkan penelitian Prislin, Limbert, dan
Bauer (2000) Mayoritas yang dikalahkan mengalami reaksi negatif yang kuat,
sementara minoritas yang baru saja menjadi kuat menunjukkan reaksi positif yang
lebih lemah (mereka dalam posisi yang rentan). Jika mereka tidak
mengambil tindakan untuk memperkuat kemenangan mereka, mungkin saja pada kenyataannya
kemenangan itu akan berumur pendek.
C. Kesepakatan : Meminta – terkadang Berarti Menerima
Aspek perubahan social
lainnyaa adalah kesepakatan (compliance)—suatu
bentuk pengaruh social yang meliputi permintaan langsung dari seseorang kepada
orang lain—yaitu usaha-uasah untuk membuat orang lain berkata ya terhadap
berbagai macam permintaan. Ada 6 prinsip dasar compliance (Cialdini,
1994):
- Pertemanan/rasa suka: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari teman atau orang-orang yang kita sukai daripada permintaan dari orang asing atau orang yang tidak kita sukai. Contoh: sahabat kita sangat suka music country, bisa jadi nantinya kita juga menyukai music country.
- Komitmen/konsistensi: sekali kita berkomitmen pada suatu tindakan, kita akan lebih bersedia untuk memenuhi permintaan mengenai tingkah laku yang konsisten dengan tindakan tersebut daripada permintaan yang tidak konsisten dengan tindakan tersebut.
- Kelangkaan: kita lebih mungkin untuk memenuhi permintaan yang berpusat pada kelangkaan daripada terhadap permintaan yang sama sekali tidak terkait dengan isu tersebut. Contoh: ketika bensin langka, orang lebih cenderung menjadi tertarik membeli bensin.
- Timbal balik/resiprositas: kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari orang yang sebelumnya telah memberikan bantuan atau kemudahan bagi kita. Contoh: Susi melakukan sesuatu untuk Rudi karena Rudi pernah membantu Susi sebelumnya,
- Validasi social: kita lebih bersedia memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa tindakan jika tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya dilakukan oleh orang lain yang mirip dengan kita.
- Kekuasaan: kita lebih bersedia memenuhi permintaan dari seseorang yang memiliki kekuasaan yang sah.
Prinsip pertemanan
lebih dikenal dengan ingratiation—membuat
orang lain menyukai kita sehingga mereka lebih bersedia untuk menyetujui
permintaan kita. Ingratiation bisa dilakukan dengan cara rayuan atau
memuji orang lain dengan cara-cara tertentu. Cara lainnya adalah dengan
memperindah penampilan diri, mengeluarkan tanda-tanda nonverbal yang positif
(seperti mengacungkan jempol) dan melakukan kebaikan-kebaikan kecil.
Sementara itu dalam
prinsip komitmen ada 2 teknik yang bisa digunakan, yaitu: i) foot-in-the-door technique yaitu
suatu prosedur untuk memperoleh kesepakatan di mana pemohon memulai dengan
permintaan yang kecil dan kemudian permintaan ini disetujui, meningkat ke
permintaan lain yang lebih besa (yang memang mereka inginkan sejak awal).
Contoh: saat datang ke mall, Susi ditawari sample gratis sebuah kue dan Susi
menyetujuinya dan mengambil sample tersebut, lalu kemudian Susi ditawari untuk
membeli. Kemungkinan Susi untuk menyetujui membeli besar karena sebelumnya dia
sudah berkomitmen mencoba sample; ii) Low ball technique yaitu suatu prosedur untuk memperoleh
kesepakatan di mana suatu penawaran atau persetujuan diubah (menjadi lebih
tidak menarik) setelah orang yang menjadi target menerimanya. Contoh: Rudi
ditawari membeli mobil, dank arena terbujuk akan DP yang murah dan stok yang
lengkap tersedia, Rudi pun menyetujui penawaran tersebut. Namun ternyata warna
mobil yang diinginkan Rudi tidak ada. Namun karena sudah menyetujui, Rudi pun
tetap memilih membeli mobil tersebut.
Pada prinsip
kelangkaan terdapat 2 teknik, yaitu: i) jual
mahal/ playing hard to get yaitu suatu teknik yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesepakatan dengan memberikan kesan bahwa
seseorang atau suatu objek adalah langka dan sulit diperoleh. Contoh: teknik
penjualan dengan mengatakan bahwa produk itu adalah limited edition; ii)
Deadline technique yaitu
suatu teknik untuk meningkatkan kesepakatan di mana orang yang menjadi target
diberi tahu bahwa mereka memiliki waktu yang terbatas untuk mengambil keuntungan
dari beberapa tawaran atau untuk memperoleh suatu barang. Contoh: “laptop ini
diskon 10% hingga akhir minggu ini!” atau penawaran Ahung Sedayu Group yang
mengatakan “DP murah, diskon x%, hari naik besok!”
Pada prinsip timbal
balik ada 2 teknik, yaitu: i) door-in-the-face
yaitu suatu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kesepakatan di mana pemohon memulai dengan permintaan yang besar dan kemudian,
ketika permintaan ini ditolak, mundur ke permintaan yang lebih kecil (yang
memang mereka inginkan sejak awal); ii) that’s-not-all yaitu suatu teknik untuk memperoleh kesepakatan
di mana pemohon menawarkan keuntungan tambahan kepada orang-orang yang menjadi
target, sebelum mereka memutuskan apakah mereka hendak menuruti atau menolak
permintaan spesifik yang diajukan. Contoh: beli 2 dapat 1.
Selain teknik-teknik
tersebut di atas, ada pula yang dikenal dengan Pique Technique yaitu suatu teknik untuk memperoleh
kesepakatan di mana minat orang yang menjadi target di-pique (distimulasi)
oleh permintaan yang tidak umum. Sebagai akibatnya, mereka menolak permintaan
secara otomatis, seperti yang sering terjadi. Contoh: memasang harga Rp
9.900,00 terhadap produk yang berharga RP 10.00,00 supaya terkesan lebih murah.
Selain itu taktik lainnya dengan menempatkan oranglain pada suasana hati yang
baik sebelum mengajukan permintaan.
Apek lain dari
pengaruh social adalah kepatuhan (obedience)—keadaan
di mana seseorang pada posisi yang berkuasa cukup mengatakan atau memerintahkan
orang lain untuk melakukan sesuatu—dan mereka melakukannya! Kepatuhan lebih
jarang terjadi dari conformitas ataupun kesepakatan, karena bahkan orang-orang
yang memiliki kekuasaan dan dapat menggunakannya seringkali lebih memilih
menggunakan pengaruhnya melalui “velvet glove”—melalui permintaan dan
bukannya perintah langsung.
Kepatuhan yang merusak
berarti tindakan yang berdasarkan kepatuhan itu membahayakan orang lain atau
dirinya sendiri. Penyebab kepatuhan yang merusak yaitu:
- Orang-orang yang berkuasa membebaskan orang-orang yang patuh dari tanggung jawab atas tindakan mereka. “saya hanya menjalankan perintah”, seringkali dijadikan alasan bila sesuatu yang buruk terjadi.
- Orang-orang yang berkuasa sering kali memiliki tanda atau lencana nyata yang menunjukkan status mereka. Hal ini menimbulkan norma “Patuhilah orang yang memegang kendali”. Norma ini adalah norma yang kuat, dan bila kita dihadapkan dengannya, sebagian besar orang merasa sulit untuk tidak mematuhinya.
- Adanya perintah bertahap dari figure otoritas. Perintah awal mungkin saja meminta tindakan yang ringan baru selanjutnya perintah untuk melakukan tindakan yang berbahaya.
- Situasi yang melibatkan kepatuhan bisa berubah cepat. Cepatnya perubahan ini menyebabkan kecenderungan meningkatnya kepatuhan.
Berikut ini cara-cara
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kepatuhan yang merusak:
- Individu yang dihadapkan pada perintah dari figure otoritas dapat diingatkan bahwa merekalah yang akan bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang dihasilkan—bukan pihak otoritas.
- Individu dapat disadarkan bahwa melebihi suatu titik tertentu, maka benar-benar mematuhi perintah yang merusak adalah tidak layak.
- Individu dapat lebih mudah untuk melawan figure otoritas jika mereka mempertanyakan keahlian dan motif dari figure-figur tersebut.
- Cukup dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki figure otoritas untuk dapat memerintahkan kepatuhan buta bisa membantu melawan pengaruh itu sendiri.
Indoktrinasi intensif (intensive indoctrination)—suatu proses
yang dilalui individu untuk menjadi anggota kelompok ekstrem dan menerima belief
serta aturan dari kelompok tanpa bertanya-tanya dengan disertai komitmen yang
tinggi (Baron, 2000)—merupakan suatu bentuk pengaruh social yang dipaksakan.
Tahapan dalam indoktrinasi intensif ini terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1. Tahap melunak (softening-up), anggota baru diisolasi
dari teman-teman dan keluarga, dan dilakukan usaha-usaha untuk membuat mereka
bingung, lelah, tidak memiliki orientasi, dan terangsang secara emosional.
Tujuan utamanya adalah untuk memisahkan anggota baru dari kehidupan lamanya dan
menempatkan mereka pada keadaan di mana mereka mau menerima pesan-pesan
kelompok.
2. Tahap kesepakatan (compliance), anggota baru diminta
untuk mengiyakan permintaan dan belief kelompok serta secara aktif
“mencoba” peran sebagai anggota.
3. Tahap internalisasi (internalization), anggota baru
mulai menerima bahwa pandangan-pandangan kelompok adalah benar dan mereka
sungguh-sungguh mempercayai pandangan tersebut.
4. Tahap konsolidasi (consolidation),
anggota baru memperkuat keanggotaan mereka dengan melakukan tindakan yang
mahal, yang membuat mereka sulit, atau bahkan tidak mungkin untuk mundur:
mereka mendermakan seluruh harta milik pribadi mereka kepada kelompok, memutus
ikatan dengan semua mantan teman dan keluarga, mulai secara aktif merekrut
anggota baru, dst.
Hasil akhirnya dari
indoktrinasi intensif adalah anggota baru tersebut kini menerima belief dan
dasar pemikiran kelompok dengan tidak bertanya-tanya, dan juga memiliki
pandangan negatif terhadap “orang luar”.
D.
Artikle Tentang TERORIS
Kepolisian Jakarta telah membekuk tujuh orang
tersangka terkait pembuatan senjata api rakitan di daerah Cipacing, Sumedang,
Jawa Barat, yang dijual dan digunakan untuk kegiatan terorisme.
Polisi
juga menyimpulkan bahwa senjata yang dirakit di tempat itu digunakan untuk
menembak sejumlah anggota kepolisian
di wilayah Tangerang Selatan, Propinsi Banten, belakangan ini.
"Pengungkapan
kasus senjata rakitan ini ada kaitan dengan kasus penembakan yang terjadi di
tiga tempat (di wilayah Tangerang Selatan) kemarin," kata Direktur Reserse
Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Slamet Riyanto, dalam jumpa pers,
Jumat (06/09) sore, seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Andreas Nugroho.
Menurut Slamet Riyanto, para
pelaku yang ditangkap di sejumlah tempat berbeda di Jakarta dan Jabar, menyebut
nama terduga pelaku penembakan sejumlah anggota polisi.
"Mereka menyebut nama pelaku
mendapat senjata dari Cipacing," ungkap Slamet.
Akhir bulan lalu, Polda Metro
Jaya telah mengungkap identitas dua orang terduga pelaku rentetan penembakan
sejumlah anggota kepolisian di wilayah Tangerang Selatan,
Propinsi Banten.
Kedua orang itu
adalah Nurul Haq alias Jeck, kelahiran Jakarta pada 1985, dan Hendi Albar yang
kelahiran 1983. Mereka masih dinyatakan buron.
Kecuali menyebut
jenis senjata yang digunakan, yaitu modifikasi pabrikan dan rakitan, Polda
Metro Jakarta belum menjelaskan hubungan antara para tersangka ini dengan dua
orang buronan tersebut.
Kasus kerusuhan Ambon
Sejak Juli lalu,
sedikitnya empat orang anggota polisi tewas dalam aksi penembakan orang tidak dikenal
di kawasan Tangerang Selatan.
Anggota Polsek Metro
Gambir, Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda) Patah Saktiyono mengalami luka tembak
di bagian punggung belakang, pada 27 Juli lalu, di Cirendeu, Ciputat.
Pada 7 Agustus lalu,
anggota satuan Bina Masyarakat Polsek Metro Cilandak, Ajun Klik Inspektur Satu
Dwiyatna, tewas ditembak di Jalan Ciputat Raya, Pamulang, Tangerang Selatan,
Banten.
Kemudian, 16 Agustus
2013, anggota Polsek Pondok Aren Brigadir Polisi Dua (Bripda) Maulana dan Aipda
Kus Hendratma, tewas akibat ditembak dari jarak dekat.
Mabes Polri
mengatakan bahwa aksi kelompok teroris yang menyasar aparat kepolisian sudah berlangsung sejak 2010 lalu.
Sebelumnya aksi
penembakan polisi terjadi di Poso, Sulawesi Tengah dan Solo, Jawa Tengah.
Aksi yang terjadi
belakangan ini diduga masih merupakan kelanjutan dari aksi-aksi tersebut.
Terkait kasus
pembuatan senjata rakitan di Cipacing, polisi menyatakan, salah-seorang dari
tujuh orang tersangka yang berhasil ditangkap pernah terlibat pemilikan senjata
api ilegal yang dikirim ke Ambon, saat terjadi konflik agama di wilayah itu
pada 2005 silam.
Seorang lainnya
disebut pernah dipidana kasus senjata api ilegal.
Dalam jumpa pers sore
tadi, polisi menunjukkan barang bukti belasan senjata api yang dirakit di
kawasan Cipacing, Sumedang, Jawa Barat, seperti yang berjenis pistol, revolver
hingga senjata Airsoft Gun yang sudah dimodifikasi.
Teroris Poso Ditangkap Densus 88 di Lamongan
TEMPO.COM, Lamongan-Detasemen
Khusus 88 Anti-teror menangkap Agus Martin alias Hasan Ansori, 32 tahun, di
rumah mertuanya di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa
Timur, Minggu 25 Agustus 2013. Pria kelahiran Bekasi ini, diduga terlibat
jaringan teroris Poso, Sulawesi Tengah, dan sudah lama menjadi buruan polisi.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminalitas Kepolisian
Resor Lamongan, Ajun Komisaris Hasran, mengatakan penangkapan Hasan Ansori ini
merupakan hasil pengembangan dari pengakuan Ramli alias Iqbal Husaini alias
Adrian Alansyah atau juga kerap disebut Rambo atau Rian. Densus 88 Anti-teror
sudah lebih dulu menangkap Rian di Cipayung, Jakarta, beberapa waktu lalu.
“Sepengetahuan saya seperti itu,” ujar Hasran kepada Tempo, Minggu 25 Agustsu
2013.
Menurut Hasran, polisi Lamongan tidak ikut dalam
operasi tersebut. Pihaknya justru baru tahu beberapa jam setelah ada
pemberitahuan penangkapan.
Agus Martin ditangkap di rumah Ibu Mertuanya,
Nurminda, di rumahnya tak jauh dari Kantor Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro,
Lamongan. Di rumah tersebut, pria yang sehari-hari kerja sebagai tukang batu
ini, bersama dengan istri dan tiga anaknya.
Sebelum proses penangkapan, tim Densus 88 dari Jakarta
dan Surabaya, sudah lebih dahulu merapat di sekitar Pantai Utara Kecamatan
Paciran dan Solokuro, pada Sabtu malam 24 Agustus 2013. Baru, pada Minggu, pagi
25 Agustus kendaran yang dinaiki lebih dari lima orang masuk ke rumah mertua
terduga jaringan Poso ini. Saat itu, Hasan Ansori, baru hendak berangkat kerja
jadi tukang batu tak jauh dari rumahnya. Dan begitu keluar rumah, polisi
langsung menangkapnya.
Terduga jaringan Poso ini, lanjut Hasran, bakal
langsung dibawa ke Jakarta, dengan lebih dahulu singgah di Surabaya. “Kasusnya
masih dikembangkan,” ujar Hasran. Tetapi, arah pemeriksaan kemungkinan, terkait
dugaan keterlibatan pembelian empat pucuk senjata api kaliber 9 mm dari Ramli.
Sementara itu, mantan aktivis Afghanistan dan Poso Ali
Fauzi, yang juga adik Amrozi, belum berhasil dihubungi. Pesan singkat Tempo
belum dibalas. Lokasi rumah Ali Fauzi dengan Agus Martin ini masih berada di
satu desa, yaitu di Desa Tenggulun.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Jadi yang
dimaksud dengan pengaruh sosial usaha yang dilakukan
seseorang atau lebih untuk mengubah sikap, belief, persepsi atau tingkah laku
orang lain.
2.
Dan konformitas menjadi pengaruh dalam
kelompok di lapangan adalah Konformitas adalah
suatu jenis pengaruh social di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku
mereka agar sesuai dengan norma social yang ada. Seseorang bertingkah laku
dengan cara-cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh kelompok atau
masyarakat kita.
3.
Kesepakatan dalam
pengaruh sosial yaitu suatu bentuk pengaruh social yang meliputi permintaan
langsung dari seseorang kepada orang lain—yaitu usaha-uasah untuk membuat orang
lain berkata ya terhadap berbagai macam permintaan.
download disni
download disni
No comments:
Post a Comment