Nama : Abu bakar Bin Ali Muhyiddin Alhatimi Attha`i (Ibn Arabi)
Lahir : 17 Agustus 1165 Murcia,
Tenggara Spanyol
Wafat : Nopember 1240
L-B. Pendidikan : Filsafat dan Tasawuf
Ajaran : Tasawuf Falsafi
Metodologi : Ilham Intuitif
Karyanya : Futuhat al-Makkiyah,
Fusus Al-hikam, Tarjuman al-aswaq, Rasa`il Ibn al-Arabi, dll.
Nama : Sigmund Freud
Lahir : 6 mei 1856, Moravia-Austria
Wafat : 23 September 1939 London
L.B. Pendidikan : Kedokteran
(Neurolog)
Ajaran : Psikoanalisis
Metodologi : Subyektif Spekulatif
Karyanya : The Interpretation of
dream, Studies in histeria, Civilazation and its contents, The future of an
Illusion, General introduction to psikoanalisis, dll.
Pendahuluan
Hampir
sepertiga bahkan lebih dari kehidupan manusia pada umumnya dihabiskan untuk
tidur. Jika usia rata-rata manusia 60 tahun, maka selama 20 tahun diisi dengan
tidur. Waktu yang tidak sedikit bukan? Namun dengan tidur, tidak berarti
manusia melewati masa sia-sia karena tidur menjaga metabolisme tubuh agar tetap
stabil. Menurut hasil penelitian, setelah 72 jam tidak tidur, akan menyebabkan
gangguan psikotik.
Dengan tidur
pula, kita dapat mengakses dunia yang memperantarai dua alam (fenomena dan abstrak)
melalui mimpi. Mimpi juga memiliki manfaat, pertama; sebagai pemenuhan
keinginan terlarang (Freud) misalnya: menonjok jidat pejabat negara yang kita
benci tanpa dipidanakan, dan jika beruntung, kita dapat “berhubungan seksual”
dengan artis idola dunia yang cantik atau ganteng. Kedua; sebagai sumber ilmu
maupun risalah kenabian (Ibn Arabi).
Sadruddin
Qunawi, murid Ibn Arabi mengatakan bahwa “Syeikh kita Ibn Arabi memiliki
kemampuan bertemu dengan ruh nabi atau wali yang telah meninggal dunia, baik
dengan cara membuatnya turun ke taraf dunia ini dan merenungkannya di dalam
tubuh penampakan (surah mitsaliyah) yang serupa dengan bentuk indrawi orangnya
atau dengan membuatnya muncul dalam mimpi, atau dengan melepaskan diri dari
tubuh materiil supaya menemui sang ruh.
Dalam karya
pertama yang sangat monumental, Interpretation of Dream, Freud menjadikan mimpi
sebagai obyek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis
pada pasiennya. Dengan karyanya ini, Freud mulai diperhitungkan perannya dalam
dunia psikologi. Tidak sedikit yang dipengaruhinya, diantaranya C.G. Jung,
Alfred Adler yang kemudian bergabung dibawah naungan psikoanalisis Freud, meski
tidak berlangsung lama. Bahkan, banyak ahli psikoterapi yang menekankan
pentingnya analisa mimpi.
Kalau kita lacak lebih jauh, sekitar 600 tahun sebelum teori ini muncul, Ibn Arabi (filosof sekaligus sufi dari Spanyol) sebenarnya pun sudah banyak membahas tentang mimpi. Banyak kelebihan teori mimpinya yang tidak dimiliki oleh Freud, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan kelebihan satu tokoh diantarannya, namun lebih menekankan pada titik temu sekaligus perbedaannya untuk mencari sinergi bagi lahirnya sebuah teori tentang mimpi yang lebih utuh untuk pengembangan psikoterapi di masa mendatang.
Kalau kita lacak lebih jauh, sekitar 600 tahun sebelum teori ini muncul, Ibn Arabi (filosof sekaligus sufi dari Spanyol) sebenarnya pun sudah banyak membahas tentang mimpi. Banyak kelebihan teori mimpinya yang tidak dimiliki oleh Freud, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan kelebihan satu tokoh diantarannya, namun lebih menekankan pada titik temu sekaligus perbedaannya untuk mencari sinergi bagi lahirnya sebuah teori tentang mimpi yang lebih utuh untuk pengembangan psikoterapi di masa mendatang.
Definisi Mimpi
Menurut
Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Baginya, mimpi
adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan
yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga. Jika Freud seringkali
mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam
mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan
psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon, maka Ibn Arabi mengidentifikasinya
sebagai bagian dari imajinasi.
Bagi Ibnu
Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami
terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada
makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan
wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk
dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena disana konsep-konsep murni
(ma`ani) dan data indera (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur
personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.
Ia juga
menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam
keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini
juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense impression) untuk melakukan
pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan
kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.
Hakikat Mimpi
Pada
dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan
terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner
Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang secara tak sadar berusaha
memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang
tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata sulit bagi kita untuk
mrengungkapkan kekesalan, keresahan, kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya
kepada obyek-obyek yang menjadi sumber rasa marah, maka muncullah dalam
keinginan itu dalam bentuk mimpi.
Sementara
dalam teori Ibn Arabi lebih bersifat komplementer, setidaknya dalam hal ini,
disamping memiliki substansi sebagai pemenuhan keinginan, Ibn Arabi juga
memandang situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, dimana kosmos
(semesta-pen) yang tercipta terlihat sebagai mimpi Ilahi. Pengalaman manusia
merupakan citra mikrokosmik. Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yang
memerlukan alam “yang lain” untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang
sebagai semacam lamunan Ilahi, dimana ilusi sesuatu yang “bukan Aku”
diperkenalkan pada kesadaran Ilahi sebagai refleksi posibilitasnya.
Jenis dan Manfaat Mimpi
Jenis dan Manfaat Mimpi
Freud
mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, dimana pada tahun-tahun
berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa,
sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat
digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh
Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori
kepribadiannya. Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi
mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.
Sedangkan Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga, Pertama; mimpi atau kesan-kesan yang berhubungan dengan kejadian sehari-hari dari orang itu dan mengirimkannya ke ”mata batin” dari hati yang merefleksikan dan membesarkan mereka seperti layaknya sebuah cermin. Dengan cara inilah, mimpi biasa muncul sebagai asosiasi-asosiasi dari pikiran-pikiran (ideas) dan kesan-kesan (images) yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan beberapa obyek syahwat.
Sedangkan Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga, Pertama; mimpi atau kesan-kesan yang berhubungan dengan kejadian sehari-hari dari orang itu dan mengirimkannya ke ”mata batin” dari hati yang merefleksikan dan membesarkan mereka seperti layaknya sebuah cermin. Dengan cara inilah, mimpi biasa muncul sebagai asosiasi-asosiasi dari pikiran-pikiran (ideas) dan kesan-kesan (images) yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan beberapa obyek syahwat.
Jika kita
cermati, melihat manfaat jenis mimpi Ibnu Arabi tersebut ada kemiripan dengan
teori Freud, meski ia tidak mengkategorikannya sebagai bagian jenis mimpi.
Freud menyebutnya sebagai pemenuhan atau refleksi keinginan seseorang, baik
berupa kesenangan, maupun sesuatu yang mengerikan (mimpi buruk) sekalipun.
Baginya, hal itu terjadi karena adanya mimpi yang terdistorsi yang tidak
memperlihatkan adanya pemenuhan keinginan yang jelas sehingga harus dicari terlebih
dahulu dan diinterpretasikan. Kita juga mengetahui bahwa keinginan yang
mendasari mimpi yang terdistorsi adalah keinginan-keinginan yang dilarang dan
ditolak oleh penyensoran, sehingga eksistensi mereka menjadi penyebab distorsi
dan merupakan motif campur tangan penyensoran.
Kedua:
semacam arus yang mengalir namun tetap bersih, dimana dipancarkan obyek-obyek
segala gambaran (mimpi simbolis-pen). Ibn Arabi menyatakan bahwa walaupun
mimpi-mimpi semacam itu dapat dipercaya, namun itu harus ditafsirkan karena
hanya berupa simbol-simbol saja. Imajinasilah yang mensuplai simbol-simbol itu.
Dan kita tidak harus mengambil simbol-simbol itu secara realitas. Ketika Nabi
melihat susu di dalam mimpinya, ia hanya melihat simbol saja, kualitas di
balakang air susu itu adalah “pengetahuan”.
Freud
mengatakan bahwa simbolisme merupakan bagian paling mengagumkan dalam teorinya.
Karena dalam beberapa kondisi, simbol memungkinkan kita menginterpretasikan
mimpi tanpa harus mengajukan pertanyaan pada orang yang mengalami mimpi yang
kadang-kadang malah tidak bisa memberitahukan apa-apa tentang simbol-simbol
itu. Disini Freud juga mencoba menyimpulkan beberapa hal mengenai simbolisme
dalam mimpi. Pertama; kita menentang pendapat bahwa orang yang bermimpi merasa
tidak mengetahui bahwa simbol-simbol berhubungan dengan kehidupan dalam kondisi
bangun. Kedua; hubungan simbolik bukan sesuatu yang khas bagi orang yang
bermimpi, tapi ruang lingkup simbolisme sangat luas. Simbolisme mimpi hanya
bagian kecil saja. Ini berbeda dengan simbolisme pada mitos, dongeng dan
sebagainya. Ketiga; simbolisme yang muncul di bidang lain ternyata berhubungan
dengan tema-tema seksual seperti dalam mimpi simbol-simbol yang sama juga
melambangkan obyek dan hubungan seksual, misalnya: simbol phallic (alat kelamin)
yang diinterpretasikan Jung sebagai unsur arketipe “mana” (spiritual).
Tapi bagi
Freud dianggap sebagai alat kelamin yang sebenarnya. Intinya, Freud seringkali
mengkait-kaitkan simbolisme dalam mimpi sebagai organ atau aktivitas seksual
seperti; sepatu, sandal, dataran, kebun serta bunga sebagai perlambang vagina,
sementara dasi diartikan sebagai penis, dan bahan dasi (linen) adalah lambang
milik wanita. Sedangkan baju dan seragam melambangkan ketelanjangan. Keempat:
simbolisme adalah faktor kedua dan faktor independen dalam distorsi mimpi yang
hidup berdampingan dengan penyensoran.
dapun
manfaat yang dapat dipetik dari jenis mimpi ini adalah berupa; pengetahuan.
Pemenang nobel, Loevi, memimpikan sebuah eksperimen selama 3 malam. Pada malam
pertama, ia membuat catatan tapi tidak bisa menguraikannya kembali dan pada
malam ketiga ia terbangun melakukan eksperimen dan memecahkan penemuannya.
Ketiga:
mimpi spiritual non simbolik, yaitu; mimpi-mimpi yang dapat dipercaya yang
tidak ada simbolnya. Disini imajinasi tidak campur tangan. “Hati” langsung
merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma`ani ghaibiyah). Sebelum imajinasi dapat
membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan
penafsiran, mereka adalah wahyu-wayu dari yang riil itu sendiri. Dan
mimpi-mimpi berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat
(kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu
(revelation) dan ilham, inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual.
Karakteristik
serta manfaat dari mimpi jenis ini hanya dapat diperoleh oleh jiwa-jiwa yang
telah menjalani penyucian hati hingga mencapai tarafnya para wali atau para
nabi.
Kategori mimpi ketiga inilah yang sama sekali tidak disinggung oleh Sigmund Freud dalam teorinya, bahkan tidak mampu dijamah oleh C.G.Jung dalam klasifikasi teori mimpinya.
Interpretasi Mimpi
Kategori mimpi ketiga inilah yang sama sekali tidak disinggung oleh Sigmund Freud dalam teorinya, bahkan tidak mampu dijamah oleh C.G.Jung dalam klasifikasi teori mimpinya.
Interpretasi Mimpi
Mengenai
interpretasi tentang mimpi , Ibn Arabi mengatakan bahwa segala sesuatu datang
dalam alam imajinasi karena mereka tafsirkan. Ini berarti bahwa sesuatu itu
sendiri memiliki bentuk tertentu yang muncul dalam bentuk lain sehingga sang
penafsir mendapatkan sesuatu dari bentuk yang dilihat oleh si pemimpi kepada
sesuatu itu sendiri. Jika dia berasil, seperti munculnya pengetahuan dalam
bentuk susu kepada bentuk pengetahuan, sehingga mengubah makna sesungguhnya
dari keduanya- dari satu bidang ke bidang lainnya, yang merupakan perubahan
yang tepat dari bentuk susu menjadi bentuk pengetahuan.
Ketika Yusuf
as berkata “Aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, yang kulihat
semuanya sujud padaku”. Yusuf melihat saudara-saudaranya dalam bentuk
bintang-bintang dan melihat ayah dan bibinya sebagai matahari dan bulan, ini
sudut pandang Yusuf. Tetapi, dilihat dari sudut pandang siapapun juga,
perwujudan saudara-saudara sebagai bintang, dan ayah serta bibinya sebagai
matahari dan bulan dikaitkan dengan harapan dan doa mereka. Jadi, selama mereka
tidak ada pengetahuan atas apa yang dilihat Yusuf mengenai apa yang ia lihat,
berperan melalui kemampuan imajinatifnya sendiri. Ketika Yusuf memberitahu
Ya`qub tentang pandangannya ini, Ya`qub memahami situasi ini dan bersabda, “
Anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada sudara-saudaramu, kalau
tidak, mereka akan membuat makar (untuk membinasakanmu)”. Kemudian Ya`qub mulai
membebaskan putranya dari makar dan menempatkan itu di pintu syetan yang sangat
mahir dalam soal makar, sambil mengatakan, “sesungguhnya syetan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia”, yang secara lahiriah memang begitu.
Lebih jauh
lagi, Yusuf berkata, “inilah arti mimpiku yang dahulu itu, sesungguhya Tuhanku
telah menjadikannya kenyataan”, yaitu Tuhan menjadikannya terwujud pada pikiran
sehat, yang sebelumnya terbentuk dari imajinasi. Mengenai hal ini, Nabi
Muhammad bersabda, “manusia tidur”, sedangkan Yusuf berkata, Tuhanku telah
menjadikannya suatu kenyataan”. Karena berkenaan dengan apa yang dikatakan sang
Nabi, ia berada dalam posisi seseorang yang bermimpi sehingga beliau telah
terbangun dari sebuah mimpi dan kemudian menafsirkannya. Orang seperti ini tidak
mengetahui bahwa dia masih tertidur dan bermimpi, tetapi saat terbangun, dia
berkata,”Aku telah melihat begini dan begitu, yang, dengan bermimpi bahwa aku
telah bangun, aku tafsirkan.” Sama seperti inilah situasi Yusuf.
Ungkapan Ibn
Arabi mengenai pengetahuan pemimpi atas makna mimpinya, hampir senada dengan
apa yang dikemukakan oleh Freud, bahwa “dalam kasus mimpi, orang yang bermimpi
selalu mengatakan tidak tahu apa makna mimpinya. Sedangkan kita juga tidak
mempunyai apapun untuk memberi penjelasan kepadanya. Tapi saya akan meyakinkan
anda bahwa masih ada kemungkinan, bahkan cukup besar, karena orang yang
bermimpi itu sebenarnya mengetahui apa makna mimpinya, Hanya saja dia tidak
tahu bahwa dia mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa.
Seperti
pembahasan mengenai simbolisme, dalam interpretasinya, Freud lebih mengaitkan
dengan tema-tema seksual dengan melambangkan simbol-simbol tersebut dengan
obyek maupun aktivitas seksual. Demikian pula halnya dengan Ibn Arabi, Ia hanya
memberikan ruang untuk penafsiran pada jenis mimpi simbolis. Tentu
interpretasinya tidak hanya sebatas penekanan pada obyek-obyek seksual.
Perbedaan definisi, hakikat, jenis mimpi, manfaat serta interpretasi mimpi
antara teori Ibn Arabi dengan Freud yang telah kami jelaskan diatas dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Mungkin pandangan Freud lebih
lengkap dari Ibnu Arabi mengenai cara kerja, sensor mimpi serta teknik-teknik
interpretasi secara detail. Hal ini bisa jadi karena masih terbatasnya
karya-karya Ibn Arabi yang dapat diakses atau memang rumitnya pemahaman atas
konsepnya, sebagaimana yang diilustrasikan oleh A.J. Arberry bahwa “Ibn Arabi
bisa dibandingkan dengan sebuah puncak gunung yang belum dieksplor, banyak
wilayah pada sisi yang sudah dikenal, tetapi masih harus ditentukan dengan
tepat bagaimana arah menuju puncaknya, atau dengan ketinggian apa air mancur
itu meluapi dengan baik pada sungai yang kuat dari semua pemikiran mistik
selanjutnya, baik muslim maupun Kristen.
Klik disini untuk download
No comments:
Post a Comment